Surat cinta untuk hari esok

Surat Cinta untuk Diri Kecilku, Yakinlah Hari Esok akan Baik-Baik Saja

Surat untuk Hari Esok – My dear Luluk, apa kabar? Tak terasa ya, usiamu sudah genap 32 tahun. Padahal rasanya baru kemarin ketika kamu bermain engklek di halaman rumah. Serta pergi ke sekolah dengan seragam putih-merah tanpa alas kaki.

Ada kalanya apa yang orang katakan benar. Time flies so fast, amat sangat cepat.

Gadis Kecil Pekerja Keras

Ah, diingatanku masih tergambar jelas. Kamu adalah seorang anak yang aktif dan cita-citamu hanya ingin berbakti dan membahagiakan orang tua.

Karena itu, tubuh kecilmu tak pernah keberatan untuk bekerja keras. Membantu seorang perempuan yang kamu panggil Ibu.

Berjualan hasil panen buah ke pasar. Mencari kayu bakar ke dekat sungai. Menimba air di kala kemarau datang.

Rasanya tak ada beban sama sekali bukan? Kamu melakukannya dengan suka rela, suka cita. Di pikiranmu, kamu hanya harus jadi anak hebat untuk Ibumu.

Kamu juga anak perempuan yang pengertian. Tak pernah sekalipun kamu protes. Meski pernah kamu meminta baju di pasar tapi Ibumu tak mengiyakan.

Kamu tidak marah, juga tidak memaksa. Jauh dalam lubuk hatimu, kamu paham Ibumu bukan tak mau membelikan. Tapi karena dia memang tak ada uang. Banyak sekali tanggungannya dalam hidup.

Hidup yang tak Bersahabat

Selama perjalanan hidupmu. Aku tahu kamu selalu melakukan satu hal. Sesulit apapun kondisimu, kamu terus bertahan dan berjuang dengan satu harapan. Semoga suatu hari, hidup akan berpihak padamu.

Masa remajamu, juga masa dewasa awalmu, terpaksa kamu lalui tanpa bisa sama seperti teman-teman sebayamu.

Tak ada bedak, tak ada baju bagus, tak ada fasilitas. Meski itu membuatmu sedikit merasa berbeda, merasa rendah, tapi kamu tak mundur sedikitpun.

Kamu terus bertahan, berjalan, sekalipun tak ada yang paham seperti apa sulitnya kehidupan yang kamu lalui. Aku sendiri kadang heran, kenapa kamu bisa sekuat itu?

Ah, benar. Kamu selalu mengingat pesan Ibumu. Sekolah lah Nak, sampai kamu jadi sarjana.

Hidup yang tak Adil

Aku paham, amat sangat paham. Selama melewati masa-masa pendidikanmu, kamu menyimpan satu harapan. Semoga segala kesulitanmu berubah setelah kamu menyandang gelar sarjana.

Tapi kenyataannya, kamu merasa hidupmu tak berubah sama sekali bukan? Kebahagiaan yang kamu tunggu begitu lama, ternyata tak juga kunjung datang.

Yah, jika tidak soal jodoh yang lancar. Setidaknya kamu bisa memiliki karir cemerlang. Sehingga kamu tak perlu lagi hidup kekurangan seperti masa dulu.

Sayangnya, kamu merasa tak meraih dua-duanya bukan? Akhirnya, kepercayaanmu perlahan jadi runtuh. Kegigihanmu lambat laun juga makin terkikis. Sisanya, hanya sebuah keputusasaan, penyesalan, dan kebencian sebab hidup yang terasa tak adil.

Dear, Luluk. Aku minta maaf sebab diriku yang sekarang tak bisa bersua denganmu yang dulu. Seandainya saja aku ada, aku benar-benar akan menjadi sahabat terbaikmu. Menuntunmu dalam menyikapi hidup dan menemanimu melewati masa-masa sulit.

Tapi, aku sungguh berterima kasih padamu. Sekali pun dalam hidup ini kamu selalu sendirian. Tapi kamu terus bertahan sampai di titik ini. Padahal, aku tahu kamu hampir menyerah dalam setiap detiknya.

Karena itu, maukah kamu berjalan denganku mulai dari sekarang? Mari hadapi kehidupan ini bersama-sama.

Dear Hari Esok

Pertama, apapun kondisiku sekarang. Aku tak akan menyalahkanmu. Jadi kamu juga tak perlu menyalahkan diri sendiri dan juga lingkungan sekitar.

Sejujurnya, aku sungguh bangga padamu. Karena kalau dipikir-pikir, aku yang sekarang dapat berdiri tegak sebab pengorbananmu yang begitu banyak. Jadi, tak ada apapun kesalahan yang kamu perbuat di masa lalu. Sudah cukup apa yang kamu perbuat untukku.

Kedua, aku ingin kamu bergandengan tangan erat denganku. Mari sambut hari esok bersama-sama. Mari kembali berbahagia.

Aku butuh semangatmu ketika saban subuh harus berjalan jauh ke pasar saat ikut Ibu berjualan ke pasar. Aku perlu kelincahanmu ketika mengisi bak mandi yang lumayan besar dengan air sumur.

Dan, aku butuh kegigihanmu ketika memunguti ranting kering yang berjatuhan di tepi sungai. Yang paling penting, aku butuh semangatmu dalam usaha memenangkan setiap permainan yang kamu mainkan. Engklek, bola bekel, lompat tali, dan banteng.

Yakinlah, selama kita saling menjaga dan mengingatkan. Maka apapun yang terjadi di hari esok, semua akan baik-baik saja.

I love you 3000.

Baca juga: Seni Mengasuh Inner Child dengan Stoisisme

Inner Child yang Terluka Butuh Pengasuhan

Di atas adalah surat yang kutulis untuk diri kecilku. Simpelnya, surat itu kutulis untuk diriku sendiri.

Kenapa menulis surat untuk diri sendiri? Apa gunanya?

Pada satu titik, aku pernah merasa tak mengenal diriku sama sekali. Segala yang terjadi dalam hidupku semua terlihat sebagai kegagalan dan aku tak lagi punya tujuan.

Efeknya, aku merasa tak bahagia, tak berkembang, dan amat sangat membenci diri sendiri. Tak hanya itu, aku jadi sering menyalahkan masa lalu dan orang-orang sekitarku.

Seperti sebuah pelarian, aku menyalahkan orang lain karena aku menganggap mereka ikut bertanggungjawab atas hidupku. Misal kakak-kakakku, orang tuaku, dan orang-orang di lingkungan aku tumbuh.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan Buku Luka, Performa, Bahagia. Buku ini aku dapatkan dari program Inner Child Healing yang sedang aku ikuti via group WA. Cerita perjalananku dalam mengikuti program ini bisa dibaca di kabarini.com.

Sebuah buku yang membuatku paham, bahwa aku punya inner child yang terluka. Di mana luka itu sangat berpengaruh pada kondisi mental dan psikologisku.

Buku tersebut sekaligus mengajariku, jika inner child yang terluka butuh pengasuhan ulang. Dan akulah yang bertanggungjawab untuk melakukannya.

Buku luka performa

Baca juga: Cara berdamai dengan diri dan masa lalu

Luka, Performa, Bahagia

Anak kecil terluka dalam diri yang trauma itu bukan kesalahan kita, tetepi menemani, mengasuh, mencintai dan memulihkannya adalah pilihan kita. -IMH

Kalimat di atas merupakan kutipan dari buku Luka, Performa, Bahagia.

Luka masa kecilku memang tidak disebabkan oleh kejadian yang sangat traumatis. Luka itu ada karena kemarahanku pada kondisi yang kualami dan pengabaian dari orang-orang terdekat yang kuanggap harusnya bisa menolongku.

Namun, kalimat itulah yang menjadi pedomanku dan pengingatku. Seluka apapun inner child-ku, tapi aku punya pilihan untuk mengasuhnya kembali. Sehingga luka yang dirasakan oleh inner child-ku bisa berangsur sembuh dan menjadi penerimaan.

Proses penyembuhan mungkin butuh waktu lama. Tapi aku juga bersedia berproses. Jika pun harus seumur hidup, aku akan terus melakukannya.

Salah satu cara mengasuh inner child ya dengan banyak-banyak berdialog dengannya. Bisa dengan mengobrol langsung, bisa juga dengan menulis surat.

Awal-awal mungkin terasa aneh, lambat laut kita akan merasakan manfaatnya. Bahkan ketika menulis surat ini air mataku bercucuran tiada henti. Tapi kemudian, aku merasakan sebuah kedamaian.

Aku merasa punya sahabat dan sandaran. Sesuatu yang lama aku cari dan aku inginkan.

Artikel ini cocok untuk teman atau saudaramu? Yuk, bagikan!

7 comments

  1. […] Baca Juga: Surat Cinta untuk Diri Kecilku […]

  2. […] pun merasakan sendiri. Memasak bisa menjadi aktifitas untuk self-healing akibat stres, kelelahan, atau bosan. Selain karena menyenangkan. Kami jadi bisa mengurangi […]

Comments are closed.