Mengasuh Inner child yang Terluka – Saya mengenal stoisisme pertama kali ketika membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring. Dari buku ini, saya mempelajari prinsip-prinsip dasar stoisisme itu sendiri.
Seperti yang Henry Manampiring sampaikan. Meski filosofi ini lahir ribuan tahun lalu. Tapi nilai-nilainya sangat relevan dengan kehidupan abad 21 sekarang ini. Saya kemudian juga menyadari jika ternyata stoisisme bisa digunakan untuk mengasuh inner child yang terluka.
Apa Itu Inner Child?
Sederhananya, secara psikologi inner child merupakan sebuah konsep yang menggambarkan perilaku kekanak-kanakan yang dimiliki oleh setiap orang. Dengan kata lain, Inner child merupakan bagian dari diri kita yang tak ikut mendewasa.
Inner child setiap orang berbeda-beda karena inner child terbentuk dari sekumpulan pengalaman masa kecil setiap individu.
1. Contoh Inner Child yang Terluka
Saya punya seorang kenalan. Semasa masih dalam kandungan ia sempat digugurkan tapi tak berhasil. Ayah dan ibunya memiliki masalah keluarga dan akhirnya bercerai ketika ia dilahirkan.
Saat dewasa, kenalan saya tersebut menjadi pribadi yang emosinya tidak stabil. Setiap punya masalah dan mengalami hambatan, ia cenderung merusak barang. Ia bahkan pernah melempar HP dan menghancurkan colokan listrik.
Kenalan saya tersebut heran kenapa dia begitu. Ia mengaku, setiap kali merusak barang, ia sadar jika itu tak seharusnya dilakukan. Tapi ia tak pernah bisa mengendalikan diri.
Jadi sebenarnya, setiap kali kenalan saya mengalami hambatan ia cenderung cepat merasa jadi orang gagal dan tak berguna. Lalu inner child-nya yang terluka langsung bereaksi dan mendominasi dirinya dan mendorongnya untuk merusak barang-barang. Seperti dirinya dulu yang harus dihilangkan.
2. Contoh Inner Child yang Bahagia
Tak semua inner child selalu berasosiasi dengan hal-hal buruk di masa lalu. Sebab, kita semua pastinya juga punya kenangan-kenangan manis di masa kecil. Ketika menonton film kartun setiap akhir pekan. Kemudian menyukai lagu-lagunya dan tetap menghapalnya sampai dewasa.
Bermain juga merupakan pengalaman yang baik bagi inner child kita. Sorak sorai saat bermain banteng, menerbangkan layangan, berenang di sungai atau di kolam renang. Intinya, apa-apa yang membangkitkan rasa bahagia itu bagus untuk inner child.
Tapi memang, banyak yang kemudian merasa jika inner child yang terluka lebih mendominasi ketimbang inner child yang bahagia. Terutama bagi mereka yang mengalami trauma tingkat berat.
Inner Child Terluka Bisa Diasuh Kembali
Banyak orang yang tak tahu, termasuk saya juga awalnya. Tapi setelah mengikuti program Parade Inner Child Healing dari Ruang Pulih. Saya jadi paham bahwa sisi anak kecil yang terluka dalam diri kita bisa kita asuh kembali. Agar luka yang dialaminya bisa sembuh.
Bagaimana caranya? Sesuai pengalaman hasil praktik dari mengikuti Parade Inner Child Healing. Pertama, kita harus banyak-banyak mengakses inner child kita terlebih dahulu. Ingatlah apa saja yang kita alami di masa kecil. Buruk atau pun menyenangkan. Lalu resapi segala perasaan yang ditimbulkan.
Dengan begitu, kita jadi tahu kejadian di masa lalu yang belum usai dan efeknya ada sampai sekarang. Setelah kita memahami penyebab inner child kita yang terluka. Barulah kita lakukan pengasuhan.
Ajaklah inner child yang terluka berdialog. Bisa dengan mengobrol atau mengirimkan surat kepada diri sendiri. Berikan pengasuhan melalui kata-kata, baik nasehat atau ucapan-ucapan yang menguatkan.
Pengasuhan ini tentu tak bisa hanya satu kali. Kita harus melakukannya berkali-kali sapai kita merasa gangguan yang ditimbulkan oleh inner child yang terluka mulai berkurang.
Selama pengasuhan, kita juga disarankan untu sering-sering mengakses inner child yang bahagia. Dengan menyadari bahwa apa yang terjadi di masa lalu tak semuanya buruk. Ini bisa membantu kita untuk tak terlalu fokus pada luka.
Kenapa sih inner child yang terluka harus diasuh kembali? Jika luka tersebut tak juga sembuh maka bisa jadi hambatan bagi kita dalam meraih performa diri yang optimal. Kita jadi terlalu kompetitif sekaligus cepat menyerah. Mudah marah pada hal-hal sepele dan cenderung menyalahkan diri sendiri dan lingkungan.
Inner child yang terluka juga bisa menjadi penyebab kita tak lagi otentik dalam bersikap. Orang bilang, kita seperti tak paham akan gambaran diri sendiri.
Pada beberapa kasus, ada beberapa orang yang kadang tidak bisa mengetahui penyebab inner child mereka yang terluka. Sehingga mereka tak bisa mengatasinya sendiri. Dalam kasus ini, maka diperlukan bantuan dari profesional.
Mengasuh Inner Child yang Terluka dengan Stoisisme
Beberapa bulan lalu, saya membaca buku Filosofi Teras. Filosofi Teras sendiri merupakan terjemahan bebas dari stoisisme yang dipopulerkan oleh Henry Manampiring selaku penulis buku.
Alasan kenapa Henry Manampiring lebih memilih menggunakan sebutan filosofi teras ketimbang stoisisme bisa kamu baca di tulisan saya sebelumnya, review buku filosofi teras.
Stoisisme (stoa) sendiri merupakan salah satu aliran filsafat Yunani Kuno yang dikembangkan oleh Zeno di awal abad ke-3 SM. Ada yang menyebut pada tahun 108 SM.
Ada beberapa nilai atau prinsip dasar stoisisme yang menurut saya bisa kita gunakan untuk mengasuh inner child yang terluka. 3 diantaranya yakni dikotomi kendali, hidup selaras dengan alam, dan mengendalikan persepsi.
Prinsip-Prinsip Dasar Stoisisme
Prinsip pertama, dikotomi kendali. Maksudnya, segala yang terjadi dalam hidup kita ini ada yang berada di bawah kendali kita ada yang tidak. Nah, sebaiknya kita jangan pernah menyandarkan kebahagian kita pada hal-hal yang tak bisa kita kendalikan.
Kejadian di masa kecil yang menimbulkan luka ataupun trauma tentu merupakan hal yang tidak berada di bawah kendali kita. Tapi pilihan sikap yang akan kita berikan pada masa lalu tersebut berada di bawah kendali kita. Apakah kita akan menerimanya atau kita akan terus-menerus menangisinya?
Kedua, hidup selaras dengan alam. Apa yang terjadi di dunia ini tak pernah terjadi secara kebetulan semata. Termasuk segala luka yang kita alami di masa lalu. Ada kehendak Tuhan di situ.
Jadi, perilaku menyalahkan masa lalu bisa dikategorikan sebagai upaya melawan keselarasan alam itu sendiri. Sementara, agar kita bisa hidup lebih bahagia kita harus hidup selaras dengan alam.
Ketiga, mengendalikan persepsi. Stoisisme mengajarkan jika emosi kita dipicu oleh persepsi, opini, dan penilaian kita sendiri. Apa yang sudah terjadi tak akan bisa berubah. Karenanya kita diminta untuk memberikan persepsi dan penilaian yang postif terhadap masa lalu yang buruk.
Sampai di sini? Sudahkah terbayang bagaimana caranya mengasuh inner child yang terluka dengan stoisisme?
Beberapa prinsip dalam stoisisme bisa kamu gunakan dalam proses mengasuh inner child-mu yang terluka. Caranya? Ajarkan prinsip-prinsip dasar stoisisme tersebut pada sosok anak kecil dalam dirimu agar ia bisa menerima hal buruk yang ia alami.
Tulisan saya ini tentu hanya sebagai informasi awal saja. Jika kamu merasa ada yang salah dengan dirimu. Bisa jadi penyebabnya adalah inner child-mu terluka. Dan kamu bisa mengasuhnya kembali agar luka tersebut bisa sembuh.
Berdasarkan pengalaman selama mengikuti program Parade Inner Child Healing dari Ruang Pulih. Saya sudah menceritakan apa saja yang bisa kamu lakukan untuk mengasuh inner child yang terluka. Saya juga merekomendasikan untuk menggunakan prinsip-prinsip stoisisme dalam prosesnya.
Tapi kamu tentu harus memperdalam pemahaman tentang inner child dan stoisisme itu sendiri dengan membaca referensi lain sebanyak-banyaknya.
[…] Baca Juga: Seni Mengasuh Inner Child yang Terluka […]
[…] Baca juga: Seni Mengasuh Inner Child yang Terluka […]
[…] Baca juga: Seni Mengasuh Inner Child dengan Stoisisme […]
[…] kita hidup jauh dari hutan. Kita bisa kok ikut menjaga hutan Indonesia dari rumah. Dari hal-hal kecil juga tak […]
[…] masalahnya, saya juga orang yang mudah stres. Saat stres, saya dengan mudah bisa mengalami insomnia. Tidur di atas jam 12 malam. Malah kadang benar-benar […]
[…] pula dengan inner strength. Ia haruslah digali semenjak anak dalam masa pertumbuhan. Supaya ketika dewasa, anak sudah terlatih menjadi pribadi yang tangguh.Mudah dalam mencapai […]