Alasan Berhenti Menulis – Pernah saya menuliskan alasan-alasan kenapa saya suka menulis, khususnya menulis di blog. Kala itu saya mengutarakannya dengan begitu yakin.
Pada beberapa kesempatan, saya juga sempat menyampaikan, jika aktifitas menulis telah menyelamatkan saya dari masa-masa sulit.
Tapi, tiba-tiba saya ingin berhenti menulis. Sangat, sangat ingin. Ada apakah dengan saya?
Apakah Soal Writer’s Block?
Saya tidak lagi bermasalah dengan writer’s block atau hambatan dalam menulis. Bagaimana mengatasi hal tersebut saya sudah paham betul.
Mulanya saya berpikir mungkin saya ada di titik jenuh. Sehingga saya perlu mengambil jeda untuk sementara waktu.
Rupanya, bukan itu pula penyebabnya.
Mungkinkah karena Potensi Menulis tak Lagi Dirasakan?
Dunia kepenulisan benar-benar potensial jika ditekuni. Saya paham betul itu.
Tak perlu saya mengambil contoh penulis-penulis yang namanya sudah tenar. Seperti JK Rowling, Andrea Hirata, juga Dee Lestari.
Orang-orang yang saya kenal, teman-teman sesama bloger dan mentor menulis saya. Mereka membuktikan bisa hidup dari menulis.
Saya sendiri pun sebenarnya juga sudah menghasilkan uang dari menulis. Jika saya lebih gencar lagi usahanya, saya yakin bisa mendapatkan kemandirian finansial dari aktifitas yang satu ini.
Cuma, bukan ini juga penyebab kenapa saya ingin berhenti menulis.
Kalau Begitu, Pasti Soal Fasilitas Menulis!
Kebiasaan saya di awal-awal berlatih menulis. Saya butuh tempat yang sepi, nyaman (minimal bersih), dan harus sendirian.
Saya juga lebih suka menulis di laptop. Jika menulis di HP, ide rasanya kurang mengalir dengan lancar.
Tapi sekarang, selama feelnya dapat, saya bisa menulis di mana saja pakai apa saja. Termasuk menulis dengan bolpen atau pensil.
Bahkan, sekarang saya dalam kondisi tak punya laptop karena rusak. Tulisan ini bahkan saya ketik di HP.
Kalau begitu, apakah mungkin fasilitas menulis menjadi alasan kenapa saya ingin berhenti menulis?
Alasan Berhenti Menulis
Jika saya telaah lebih dalam, mungkin saya bisa menemukan puluhan alasan kenapa saya ingin berhenti menulis.
Sama seperti awal dulu menulis, dimana saya bisa pula menemukan puluhan alasan kenapa saya begitu mencintai dunia kepenulisan.
Namun akhirnya saya meyakini satu hal, rasa percaya diri saya dalam menulis seakan-akan lenyap.
Bagaimana bisa itu terjadi? Bukankah harusnya sudah tak soal lagi?
Saya sudah ikut berbagai pelatihan menulis dengan hasil memuaskan. Juga pernah menang lomba meski hanya 2 kali. Terkait hambatan dalam teknis menulis, saya sudah bisa mengatasi semuanya.
Baca Juga: Kelas Impactful Writing
Idealisme sebagai Penulis, Saya Mempertanyakannya
Selain soal pandemi Covid-19, saya menemui banyak permasalahan dalam kehidupan pribadi saya. Terkait hubungan baik dengan orang-orang terkedat. Baik dengan sahabat dan keluarga besar.
Tak pernah terpikirkan jika hubungan saya dengan sebagian sahabat dan keluarga besar akan merenggang. Tak sekarib dulu sama sekali.
Entah mengapa, Saya juga belum bisa meredam amarah akan perlakuan mereka yang menurut saya menyakiti hati. Baik mereka sengaja ataupun tidak sengaja.
Saya sebenarnya bukan pendendam. Mudah bagi saya untuk memaafkan. Bahkan saya tak segan untuk minta maaf duluan asal itu bisa menghadirkan perdamaian.
Namun kali ini, tingkat sakit hati saya sudah di ambang batas kesabaran. Akibatnya, saya tak mampu mengendalikan emosi dengan baik.
Sebagian orang yang tak paham permasalahannya dan tak paham apa yang saya rasakan pasti akan menganggap saya kekanak-kanakan.
Saya tak soal akan anggapan itu. Sebab saya tak bisa memungkiri adanya egoisme diri yang tiba-tiba mencuat kuat. Dan saya belum bisa meredamnya. Semakin saya berusaha meredam, semakin tinggi level ego saya.
Kondisi ini kemudian membuat saya mempertanyakan idealisme saya sendiri sebagai penulis.
Mengatasi Draft Novel yang Mangkrak
Ya sudah, tulis saja hal-hal yang tak ada kaitanya dengan sebuah hubungan. Review produk, kek. Bisa juga menulis soal tanaman atau budidaya gitu. Emangnya tidak bisa?
Idealnya memang, jangan sampai saya menuliskan sesuatu yang tidak saya lakukan. But, masalahnya saya sedang menyusun draft novel tentang persahabatan, tentang sebuah hubungan.
Draft itu sudah selesai, sayangnya harus mangkrak karena terbentur idealisme saya sendiri. Saya terpaksa memilih untuk membiarkannya.
Rasanya pantang bagi saya jika harus menurunkan ego hanya agar saya bisa menulis dan menyelesaikan calon novel pertama saya. Jika pun saya ingin melepaskannya, saya ingin melakukannya tanpa beban, tanpa embel-embel apapun.
Saya ingin melepaskannya dalam kesadaran penuh. Agar rasa sakit hati saya tak timbul lagi di lain waktu.
Inilah penyebab kenapa kepercayaan diri saya untuk menulis pudar secara perlahan. Saya merasa tak pantas saja menuliskan sebuah petuah. Sementara dalam novel, tak mungkin saya tak menyelipkan sebuah nasehat.
Kemudian, ketidakpercayaan diri saya merembet ke mana-mana. Saya jadi merasa tak pantas juga menulis di blog. Sebab kategori blog saya ada tulisan memoar yang tentunya akan sarat dengan nilai-nilai kebaikan dan perjuangan hidup.
Sementara saya merasa, saya bukan orang baik. Mengatasi ego saja belum mampu.
Proses Penerimaan Diri dan Masalah
Saya sempat mendiskusikan ini dengan salah satu sahabat. Katanya, tak apa saya terus menulis. Jika diri ini belum baik, maka buatlah tulisan untuk diri sendiri. Jadikan tulisan kita sebagai nasehat untuk diri kita dulu.
Itu sangat benar, saya sudah mencoba terus menulis. Namun saya belum bisa mendapatkan kembali kepercayaan diri saya.
Jatuhnya, saya merasa tulisan saya tak bernyawa. Hanya sekedar rangkaian kata-kata. Dan saya tidak ingin menulis seperti ini.
Dalam proses membuat tulisan ini, saya tiba-tiba mendapatkan sedikit pencerahan. Mungkin saya terlalu memaksa diri untuk menyelesaikan semua masalah sekaligus.
Sementara, posisinya saat ini, saya perlu menerima terlebih dahulu apa yang sedang terjadi. Terima jika ego diri juga tinggi. Jangan menekan diri terlalu keras, seakan-akan hidup sebagai penulis tak boleh bermasalah dan memiliki ego tinggi sebuah kesalahan fatal yang tak termaafkan.
Sementara, tak hanya rocker, seorang penulis juga manusia biasa, bukan malaikat.
Baca Juga: Cara Berdamai dengan Diri dan Masa Lalu
Tak Bisa Berhenti Menulis
Kenyataannya, saya tak bisa benar-benar berhenti menulis. Jika dulu saya menyampaikan, writing like a medicine, menulis untuk menjaga kewarasan, menulis untuk mencari uang. Semuanya bukan bualan.
Dalam banyak kondisi, menulis memang terkadang menjadi jalan bagi saya untuk menemukan jalan keluar dari berbagai kemelut hati. Seperti sekarang misalnya.
Meski tak harus mendapatkan jalan keluar yang jitu, setidaknya apa yang mengganjal di hati, apa yang menjadi uneg-uneg di kepala bisa terurai.
Suatu hari mungkin bisa saya baca-baca ulang kembali. Sebagai pengingat, adakalanya menjadi seorang penulis juga tersesat dalam menjalani kehidupan ini.
Baca Juga: Surat Cinta untuk Diri Kecilku
[…] karena itu, daripada terus mengeluh. Sekarang waktunya bagi semua pihak untuk ikut ambil bagian dalam upaya pelestarian hutan. Terutama […]
[…] Baca juga: Alasan Berhenti Menulis […]