Jadi tulisan ini bukan review buku Filosofi Teras ya. Ini cuma cerita tentang pengalamanku selama membaca buku ini. Dan, buku ini belum kubaca sampai tuntas. Hehehe.
Terus kenapa aku tak menunggu selesai membaca dulu? Aku cuma ingin saja. Soalnya buku ini bikin aku gregetan. Bukunya bagus, relate banget isinya sama diriku.
Cuma bagi orang seperti aku yang suka pusing saat membaca buku yang berat-berat. Jadinya, yah, bacanya sedikit-sedikit. Tak bisa yang sehari langsung tuntas. Atau minimal seminggulah.
Baeklah, mari kumulai saja cerita tentang pengalamanku selama membaca buku Filosofi Teras ini.
Bukan Review Buku Filosofi Teras
Dulu sekali, ada seorang teman yang menyarankanku untuk membaca buku ini. Pas lagi langganan Gramedia Ditigal, langsung deh aku memilih buku ini sebagai daftar bacaan. Cuma, belum ada satu bab kubaca. Paket langganan udah habis.
Kemudian aku juga pernah membaca melalui aplikasi iPusnas. Lagi-lagi tak bisa tuntas. Tahu sendirikan kalau di iPusnas itu jatah meminjam buku cuma 5 hari saja? Sementara aku tak bisa menyelesaikan buku ini meski dalam 7 hari sekalipun.
Jadinya ya kelewat lagi. Pas mau minjem lagi. Ya sulit. Antriannya udah banyak banget. Sampai puluhan ribu.
Eh, tak kusangka. Sekitar dua bulan yang lalu. Seorang teman malah memberikan buku ini secara cuma-cuma sebagai hadiah. Penyebabnya, karena aku bantuin dia build blog baru. Seneng dong aku.
Apa Itu Filosofi Teras?
Sebelum membahas lebih lanjut. Aku mau membagi pemahamanku tentang apa itu Filosofi Teras. Pemahaman ini tentu saja kudapatkan setelah membaca sebagian dari isi buku ini.
Sebenarnya, Filosofi Teras adalah istilah yang dilahirkan sendiri oleh sang penulis, Henry Manampiring. Aslinya namanya adalah Stoisisme.
Untuk memudahkan judul buku, Penulis memutuskan untuk menyebut Stoisisme dengan Filosofi Teras. Apa hubungannya Stoisisme dengan teras?
Ribuan tahun lalu, di Athena, Yunani. Seorang bernama Zeno mengembangkan sebuah filsafat yang kemudian dikenal sebagai Stoisisme. Zeno mengajarkan filosofinya kepada pengikutnya di sebuah teras berpilar.
Teras berpilar ini dalam bahasa Yunani disebut Stoa. Karenanya pengikut Zeno dikenal dengan sebutan ‘Kaum Stoa’ dan filsafatnya dikenal dengan sebutan Stoisisme.
Sampai di sini, sudah paham kenapa Henry Manampiring menyebut Stoisisme dengan Filosofi Teras?
7 Hal Menarik dari Buku Filosofi Teras
Meski belum selesai kubaca. Aku sudah bisa mendapatkan banyak insight kok dari buku ini. Dan aku menemukan 7 hal menarik dari buku ini. Apa saja?
1. Cover Buku yang Cantik dan Menarik
Menurutku, buku karya Henry Manampiring ini punya desain yang cantik dan menarik. Warnanya putih menimbulkan kesan bersih. Font dan warna tulisannya juga simple tapi tetap cantik.
Tapi saya gak tahu nama font dan nama warnanya apa. Kamu cek langsung ja di gambar paling atas ya. Hehehe.
Gambar ilustrasi di cover juga merupakan hal yang menarik untuk diperhatikan. Yakni gambar 3 orang yang sedang duduk berdiskusi. Satunya merupakan seorang filsuf dari Yunani. Dan dua orang lainnya adalah remaja dari masa sekarang.
Hal ini tak dibuat asal-asalan loh. Soalnya, ilustrasi tersebut menggambarkan tentang filosofi teras itu sendiri. Meski filosofi ini lahir ribuan tahun lalu, ternyata tetap relevan untuk kamu terapkan di masa sekarang.
2. Jenis Kertas yang Dipakai
Aku suka banget sama buku yang kertasnya cokelat atau cenderung kecokelatan. Alasannya, pertama karena baunya. Khas-khas buku jaman dulu gitu. Kedua, karena bikin mata adem pas lagi baca.
Jenis kertas seperti ini disebutnya bookpaper. Favoritya para penerbit. Pasalnya, jenis kertas ini tuh lebih ringan dan lebih murah dibandingkan dengan jenis kertas HVS.
3. Ada Banyak Quote
Karena buku ini membahas tentang filsuf. Makanya banyak sekali kutipan-kutipan dari para Filsuf Stoa. Seperti Epictetus, Musonius Rufus, Marcus Aurelius, dan Seneca.
Buat yang suka banget sama quote-quote motivasi. Wajib banget baca buku Filosofi Teras. Sebab kutipan-kutipan dari filsuf tersebut bisa kamu jadikan quote penyemangat dalam menghadapi kehidupan yang emang rumit ini.
4. Terdapat Gambar Ilustrasi
Selain jenis kertas bookpaper, faktor lain yang bisa menambah rasa sukaku pada sebuah buku adalah adanya gambar ilustrasi. Ini berkaitan erat denga pengalamanku yang memang suka baca majalah bobo, cerita 5 sekawan, dan buku anak lainnya yang cenderung dilengkapi dengan gambar.
Nah, buku ini juga dilengkapi dengan gambar ilustrasi di setiap babnya. Bagi saya pribadi, ini bisa menjadi jeda bagi mata. Yang dilihat tak hanya teks, tapi juga gambar.
5. Banyak Sesi Wawancara
Tak hanya menuliskan tentang bagaimana cara menerapkan Stoisisme di era modern. Henry Manampiring juga menuliskan hasil wawancaranya dengan beberapa psikolog dan praktisi Stoisisme. Ini semakin memperkuat insight pembaca tentang Stoisisme sendiri
6. Isinya Relate dengan Diriku
Henry Manampiring memulai buku Filosofi Teras dengan rangkuman hasil Survei Khawatir Nasional kepada 3.634 responden yang diadakannya. 63% persen dari responden mengaku merasa khawatir dengan hidup.
Ini aku banget yang sedikit-sedikit memang selalu khawatir terhadap banyak hal. Bahkan soal Pilpres di tahun 2014 silam. Orang-orang yang berantem karena beda pilihan di sosial media. Aku yang galau sendirian di dalam kamar pusing mikirin mereka. Padahal kenal juga kagak sama mereka.
Selain suka khawatir terhadap banyak hal. Aku orangnya juga suka baperan dan tersinggung. Suka mengeluh juga pada kondisi-kondisi yang tak bisa kukendalikan.
Setelah membaca sebagian buku ini. Saya mulai paham, Stoisisme bisa banget aku terapkan untuk menghadapi segala kekhawatiran dan kegalauanku ini.
7. Ada Intisari Tulisan dalam Setiap Bab
Membaca buku ini tuh gak bisa sekali membaca. Harus berkali-kali biar bisa paham. Tapi itu sulit bangetkan untuk dilakukan?
Untungnya, di tiap akhir bab. Selalu ada intisari tulisan. Sehingga cukup membaca intisari tersebu sudah mampu membuatku ingat dengan gambaran besar dari apa yang sudah kubaca sebelumnya.
Kenapa Buku Ini Belum Selesai Kubaca?
Jujur saja, aku baru membaca buku ini sampai Bab 8 (keseluruhan ada 13 Bab). Buku ini menggunakan bahasa yang mudah dimengerti sebenarnya. Namun, buku ini cenderung membuatku berpikir keras.
Saat hendak beralih dari bab 1 ke bab 2. Aku tak bisa melanjutkan membaca. Pasalnya aku langsung merasa antara bab 1 dan bab 2 seakan-akan bertentangan. Karena pusing, akhirnya aku memilih menutup buku dan membiarkannya cukup lama.
Jatuhnya aku malah kelupaan. Setelah beberapa minggu kemudian baru ingat lagi. Lalu kucoba untuk melanjutkan membaca bab 2 secara perlahan.
Emang dasarnya kurang sabar kali ya. Kondisi saya udah diprediksi oleh penulis. Menjelang akhir bab 2, ternyata dijelaskan bahwa isi di bab 1 dan bab 2 tidak bertentangan sama sekali.
So, buat kamu yang sama seperti aku. Suka khawatrian, galau, dan baperan gak jelas dengan hidup ini. Silahkan membaca buku ini ya. Cuma janga tiru aku yang sempat mandek di Bab 8. Hehehe.
[…] Baca Juga: Buku Filosofi Teras […]
[…] Baca juga: Review Buku Filosofi Teras […]
[…] Alasan kenapa Henry Manampiring lebih memilih menggunakan sebutan filosofi teras ketimbang stoisisme bisa kamu baca di tulisan saya sebelumnya, review buku filosofi teras. […]
[…] Baca Juga: Review Buku Filosofi Teras […]