Matinya Pohon-Pohon – Semasa saya SD, antara tahun 1995-2001. Di pojok pekarangan rumah tumbuh pohon tanjung yang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari atap rumah. Pohon tanjung memiliki bunga yang ukurannya kecil, berwarna putih, dan baunya harum sekali.
Seingat saya, setiap memasuki musim kemarau, bunga-bunga tanjung bermekaran dan saban pagi berguguran. Jadi sebuah pemandangan yang sangat indah, ketika bunga tanjung bertaburan di atas tanah.
Kemudian jadi kebiasaan, bagi saya dan saudara-saudara sepupu untuk memunguti bunga-bunga tanjung yang berjatuhan. Kami pun merangkainya dengan benang. Menjadikannya kalung, gelang, dan penghias rambut. Terkadang kami juga menaburkannya ke atas seprai agar kami bisa menciumi wanginya ketika hendak tidur. Sisanya sering tertinggal di saku baju atau rok sampai layu.
Saking sukanya kami pada aroma bunga tanjung. Biasanya, setelah kami memungutinya, kami pun berlama-lama menghirup bau harumnya. Sampai pernah ada sedikit insiden yang menimpa salah satu saudara sepupu yang masih sebaya dengan saya.
Saudara sepupu saya tersebut harus dilarikan ke puskesmas terdekat lantaran bunga tanjung masuk sampai ke bagian paling dalam rongga hidungnya. Anehnya, itu baru ketahuan setelah seminggu kemudian. Ya, sampai layulah itu bunga tanjung. Bagaimana bisa? Semua bertanya-tanya. Dokter yang menangani saja ikut geleng-geleng kepala. Tak habis pikir.
Sayangnya, pohon tanjung itu akhirnya ditebang. Ibu menjualnya ke pengepul kayu. Sepertinya alasannya karena masalah ekonomi. Mungkin juga alasan lain. Saya tak terlalu paham karena masih kecil.
Buah Kedondong Itu Aslinya Manis
Selain pohon tanjung, ada pohon kedondong yang juga tumbuh subur di pekarangan rumah. Letaknya bukan di pojokan, tapi di dekat kamar mandi. Pohon kedondong ini lebih tinggi dari pohon tanjung. Sayang, nasibnya sama saja.
Karena pohon kedondong ini, dalam ingatan saya terekam dengan jelas jika buah kedondong itu amat sangatlah manis. Tidak kecut, juga tidak sepat. Baik buah yang masih muda atau buah yang sudah matang sama-sama enak.
Untuk menikmati buah mudanya, orang di kampung saya punya cara yang unik. Buah kedondong tidak dikupas, tapi dilemparkan ke lantai sampai pecah. Dengan begini rasa manis dari buah kedondong akan lebih keluar. Setidaknya begitulah yang orang-orang kampung yakini.
Sedangkan buah yang sudah matang warnanya jadi kuning. Kandungan airnya semakin banyak. Sungguh menyegarkan jika dinikmati di siang hari. Sekarang sepertinya sudah sulit untuk menemukan buah kedondong yang dijual ketika sudah matang. Rasanya pun sudah banyak yang kecut dan sepat.
Pohon Juwet di Tepi Sawah
Mari keluar dari pekarangan rumah saya dan menuju ke perbatasan kampung. Ada sebuah sungai kecil yang mengalir hanya pada musim hujan. Tak jauh dari sungai kecil ini, ada sebuah pohon juwet yang tumbuh di tepi sawah. Nama lain dari pohon ini adalah jamblang.
Buah juwet merupakan salah satu buah favorit saya. Lantaran saya tidak punya pohonnya. Saya sampai rela berjalan jauh ke rumah kenalan ibu yang terletak di desa tetangga. Di sana saya bisa minta buah juwet sebanyak-banyaknya. Pohonnya sangat besar dan tinggi. Saya bilang pohon juwet raksasa. Tangan orang dewasa saja tak akan sampai jika memeluknya.
Tapi pohon juwet yang di tepi sawah, dibandingkan dengan pohon juwet milik kenalan ibu saya, ukurannya jauh lebih kecil. Tapi buahnya tak kalah rimbun. Naasnya, buah juwet itu tiba-tiba menghilang. Kemana? Mungkin ditebang oleh pemiliknya sebab buah juwet harganya sangat murah.
Dan sekarang, saya tak lagi bisa menikmati buah juwet yang rasanya manis-manis sepat, sudah jadi buah langka. Terkadang saya rindu untuk melihat warnanya yang hitam pekat.
Pohon-Pohon Angker
Namanya juga di desa, pepohonan tak cuma berbuah, ada juga yang angker. Tak jauh dari rumah saya, di tepi jalan, ada sebuah pohon nangka yang batangnya tumbuh membengkok. Kata orang-orang di kampung saya, pohon nangka ini punya penunggu, makhluk halus tentunya. Wujudnya mirip seekor kera dan kerjaannya duduk di bagian batang pohon nangka yang membengkok.
Bagi siapapun yang melewati jalan tempat pohon nangka ini tumbuh, harus banyak-banyak membaca doa. Jangan lupa bilang permisi juga. Ya, bilang permisi layaknya kepada manusia biasa. Karena jika tidak, makhluk halus berwujud mirip kera katanya bisa marah dan akan menampakkan diri. Terus bilang permisinya bagaimana? “Permisi, saya hanya numpang lewat. Tidak berniat mengganggu”.
Sekarang sih ketakutan ini sudah tak lagi dirasakan oleh orang-orang kampung. Tanpa diketahui penyebabnya, pohon nangka yang tumbuh membengkok itu mati dengan sendirinya. Mula-mula daunnya layu lalu berguguran, dan akhirnya batangnya mengering perlahan.
Pohon Kecapi Pembawa Malapetaka
Pemanjat pohon, salah satu profesi yang ada di kampung saya. Yang melakoninya biasanya kaum laki-laki. Mereka terlihat begitu ahli, karena bekerja tanpa alat pengaman. Namun nyawalah taruhannya.
Masih di masa ketika saya adalah seorang anak SD. Pernah ada seorang pemanjat pohon yang jatuh dari pohon kecapi. Buah dari pohon ini memiliki kulit berwarna kuning dan permukaannya seperti beludru. Daging buahnya mirip daging buah manggis. Tapi rasanya sering kali kecut, melebihi kecutnya buah asam jawa.
Terkait pemanjat pohon yang terjatuh, nyawanya tak terselamatkan. Berdasarkan kabar yang beredar, arwahnya pun gentayangan. Ada yang melihatnya bergelantungan di dahan pohon kecapi yang paling rendah. Saya sendiri, tak pernah melihatnya. Bisa jadi itu hanya cerita palsu yang sengaja disebar. Dan entah siapa yang memulai.
Matinya Pohon-Pohon
Waktu telah berlalu lama, puluhan tahun sudah. Saya harus kembali menyaksikan pohon-pohon di pekarangan mati. Ada rambutan, kenitu atau sawo jawa, nangka, kopi, juga aren yang sedang berbuah lebat.
Sebagian ditebang agar tidak jadi sumber perselisihan dengan saudara maupun tetangga. Sebagian lainnya ditebang untuk diambil kayunya. Sisanya karena sulit cara panennya, seperti aren dan kenitu.
Buah aren sangat sulit dipanen jika tak mahir betul. Kulitnya mengandung getah yang beracun, bisa menyebabkan gatal di sekujur tubuh. Pohon kenitu tumbuh terlalu tinggi, sampai-sampai buahnya tak bisa diambil sekalipun memakai galah. Akhirnya hanya berjatuhan dan korbannya adalah genting-genting dapur.
Begitulah. Keberadaan pepohonan rupanya tak sekedar sebagai penyedia oksigen dan makanan. Lebih dari itu, ia kerap kali terlibat secara langsung dalam permasalahan hidup manusia. Sampai akhirnya menutup usia.
[…] Cerita saya tentang pepohonan yang tumbuh di pekarangan rumah bisa kamu baca di tulisan ini => Matinya Pohon-Pohon. […]