Aku dan Seribu ‘Pertama Kaliku’ – Saya pertama kali memasak nasi ketika berusia 10 tahun. Waktu itu, ibu saya sedang sakit. Sementara di rumah tidak ada siapa-siapa lagi. Bapak pergi merantau, kakak-kakak sedang belajar di pesantren, adik pergi bermain. Nenek entah ke mana, saya lupa. Jadi, terpaksalah ibu menugasi saya untuk memasak nasi.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, ibu memberitahu langkah-langkah memasak nasi menggunakan tungku. Cuci beras sampai bersih. Masukkan ke dalam panci tanah. Tambahkan air. Nyalakan api. Pakai kayu yang kering dan penataan kayu tidak boleh terlalu rapat.
Setelah dewasa, saya baru paham kenapa harus begitu. Ternyata api juga butuh udara. Tanpa udara api juga bisa mati.
Jika tidak salah, saat itu tahun 1998, di kampung saya belum ada yang punya kompor gas. Sedangkan kompor minyak tak terlalu sering dipakai demi berhemat.
Apakah saya berhasil melaksanakan tugas dari ibu? Tidak sepenuhnya. Sebab nasi yang berada di bagian atas kurang matang. Demi menghilangkan jejak, saya segera mengambil nasi yang masih setengah matang tersebut dan melahapnya sampai habis.
Entah kenapa saya melakukannya. Rasanya saya menolak untuk gagal waktu itu.
Pertama Kali Bisa Bersepeda
Saya pertama kali bisa mengayuh sepeda dengan benar, juga ketika SD. Kelas berapanya lupa, mungkin antara kelas 4 atau 5. Tapi saya ingat harinya, yakni hari Jumat. Masih terekam jelas di ingatan suara khatib yang terdengar melalui toa masjid kampung.
Hujan juga turun dengan deras, tapi hujan itu tak mampu menyurutkan semangat saya yang sedang asyik belajar bersepeda.
Jangan bayangkan saya belajar bersepeda seperti anak kecil. Ada yang mengajari atau minimal ada yang menuntun. Saya belajar otodidak. Seminggu lamanya, saya hanya terus menaiki sepeda dengan mengayuh satu pedalnya saja. Sementara satu kaki saya yang lain, sering saya turunkan ke tanah agar sepeda tidak oleng.
Pada hari Jumat yang penuh berkah itu, sebab katanya hujan pertanda turunnya rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa. Setelah beribu kali mencoba mengayuh sepeda dengan dua kaki tapi selalu gagal. Eureka, saya akhirnya menemukan cara menaiki sepeda dengan baik dan benar. Kayuh terus pedalnya, jangan berhenti. Karena jika berhenti maka roda sepeda juga ikut berhenti.
Saya begitu gembira. Di bawah derasnya hujan, saya terus bersepeda mengelilingi halaman rumah. Sampai hujan reda pun, saya belum berhenti.
Pertama Kali Naik Angkutan Umum
Saya pertama kali naik angkutan umum sendirian saat kelas 1 SMP. Waktu itu saya pulang dari pesantren yang letaknya ada di kabupaten. Tapi karena kemalaman dan terlalu berbahaya untuk melanjutkan perjalanan sampai ke kampung. Saya pun memutuskan menumpang tidur di rumah sahabat Ibu yang ada di kecamatan.
Sahabat ibu saya itu adalah seorang perempuan yang sangat baik. Ia berjualan rujak di pasar. Setiap kali saya ikut Ibu ke pasar, ia selalu memberi saya rujak secara gratis.
Karena kebaikannya, tentu ia mengizinkan saya untuk menginap. Saya juga diperlakukan dengan baik. Segelas teh hangat, ubi goreng tepung, dan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk, ia hidangkan sebagai makan malamku.
Kini, ia sudah tak ada lagi di dunia ini. Semoga kuburnya dilapangkan, segala dosanya dimaafkan, dan surga sebagai balasan atas segala kemurahan hatinya.
Aku dan Seribu Pertama Kaliku
Jika dipikir-pikir lagi, ada banyak sekali pengalaman pertama dalam hidup ini. Pertama kali tumbuh gigi, pertama kali makan nasi, pertama kali membeli permen, pertama kali sekolah, pertama kali bisa jalan, pertama kali menolong orang. Jika dihitung, bisa jadi setiap orang punya seribu pengalaman pertama, bisa jadi lebih.
Sayangnya tak semua terekam dalam sistem ingatan jangka panjang, bukan?
Sebagian besar terjadi ketika kita masih sangat kecil. Karena cara kerja otak yang mungkin belum sempurna, banyak kejadian masa kecil yang tak mampu kita ingat secara sadar ketika sudah dewasa.
Sementara sebagian yang lain mungkin bukan kejadian yang berkesan sehingga mudah dilupakan. Bahkan ada juga yang benar-benar hilang, menguap seperti asap.
Tapi yang paling aku benci, saat pertama kali saya ghibah alias membicarakan keburukan orang lain di belakang yang bersangkutan. Tau tau sekarang kok kayak jadi hal biasa.
Ya, mari jujur saja, saya bukan orang yang baik-baik amat. Jadi saya juga pernah ghibah. Tapi saya tidak mau membenarkan tindakan tersebut apapun alasannya. Di dasar hati yang terdalam, saya sadar itu tak sepantasnya saya lakukan.
Dalam ghibah, ada arogansi dan kesombongan. Dengan mudah kita akan memberikan penilaian yang berujung penghakiman. Tanpa mau memahami kondisi orang yang kena ghibah sebenarnya seperti apa. Dan ini tindakan tidak fair sama sekali. Karena sebagai manusia, kita sendiri juga pasti punya kesalahan dan ketidaksempurnaan.
Dalam hidup ini, saya tidak ingin jadi orang yang arogan dan sombong. Jadi untuk diriku “Mari hentikan aktifitas ghibah ini. Jika ada aktifitas yang menyeretmu ke dalam pusaran ghibah mengghibah, mohon untuk menahan diri. Cukup ingat, kamu juga bukan orang yang sempurna“.
Terima kasih sudah membaca. Saya hentikan dulu tulisan ini sebelum pembahasannya semakin melebar ke mana-mana.
Oh ya, kalau kamu punya pengalaman pertama yang berkesan, tentang apapun itu. Boleh kamu ceritakan di kolom komentar. Supaya jadi tambahan cerita untuk pembaca lainnya.
[…] di masa ketika saya adalah seorang anak SD. Pernah ada seorang pemanjat pohon yang jatuh dari pohon kecapi. Buah dari pohon ini memiliki kulit […]
[…] ke Kota Tokyo masa kini. Dan di Tokyo pun mereka terpaksa bekerjasama demi bertahan hidup. Sebuah kisah yang menarik […]