pertanian berkelanjutan

Menanam Berkah: Filosofi Pertanian Berkelanjutan dari Kakek

Saya tidak pernah bertemu kakek. Namun, anehnya, rasa bangga selalu hadir setiap kali namanya disebut. Dari cerita-cerita yang ibu saya ulang, saya merasa seperti mengenalnya seumur hidup.

Kakek adalah sosok yang saya kagumi, meski hanya melalui kata-kata. Ia digambarkan sebagai pribadi yang bersahaja, bijaksana, pekerja keras, dan baik hati. Seseorang yang tak hanya memikirkan dirinya sendiri, tetapi juga orang-oran di sekitarnya.

Salah satu kisah yang selalu membuat saya terpana adalah bahwa kakek adalah seorang petani. Bukan sekadar bertani untuk memenuhi kebutuhan, tetapi ada cara-cara tertentu yang beliau jalani.

Penuh kesabaran, penuh perhitungan, dan sarat makna. Cara-cara itu, entah bagaimana, menancap di kepala saya dan turut membentuk cara saya memandang alam.

Sosok Kakek yang Multitalenta

Dari semua cerita yang saya dengar, kakek memiliki banyak peran. Hidupnya penuh warna, dan setiap pekerjaan yang beliau jalani selalu dilakukan dengan sepenuh hati.

Selain sebagai petani, beliau adalah seorang guru mengaji. Setiap sore, anak-anak kampung akan datang membawa Al-Qur’an, duduk bersila di serambi rumah. Suaranya lembut namun tegas, mengajarkan huruf demi huruf dengan kesabaran yang, menurut ibu, hampir tak pernah habis.

Kakek juga menggarap sendiri lahan pertaniannya yang luas. Pagi-pagi sekali, sebelum matahari tinggi, beliau sudah ada di ladang. Di sela-sela waktunya, beliau berdagang di pasar atau mengurus toko kayu miliknya.

Ibu sering bercerita bahwa kakek juga mengajarkan murid-murid cara bertani dan berdagang. “Ilmu agama penting,” kata beliau, “tapi kamu juga harus bisa menghidupi dirimu sendiri dan memberi manfaat pada orang lain.”

Itu adalah pelajaran hidup yang begitu lengkap, mengajarkan ilmu untuk kebaikan hati dan keterampilan untuk kehidupan.

Baca Juga: Penyebab Bunga Cabe Rontok

Prinsip Pertanian Berkelanjutan ala Kakek

Dari cerita ibu, saya tahu kalau bertani bagi kakek bukan hanya soal mencari nafkah. Itu adalah bagian dari hidupnya, sesuatu yang beliau jalani dengan hati.

Ada beberapa kebiasaan dan prinsip kakek dalam bertani yang menurut saya sangat bijak dan relevan dengan konsep modern pertanian berkelanjutan.

1. Menanam Pohon untuk Warisan, Bukan Hanya Konsumsi

burung makan buah di atas pohon

Salah satu prinsip kakek yang paling sering diceritakan ibu adalah cara beliau menanam pohon. Kakek tidak pernah melihat pohon hanya dari hasil panennya.

Baginya, pohon adalah warisan yang bisa dinikmati anak cucu, bahkan makhluk hidup lain di alam. Beliau percaya, hasil panen bukan hanya milik manusia.

Burung yang hinggap dan mematuk buah, atau kelelawar yang datang di malam hari untuk menghisap nektar, semuanya punya hak yang sama untuk hidup. Kata kakek, “hewan-hewan itu akan makan secukupnya saja, dan kita pun tetap akan kebagian.”

Saya sering membayangkan, di bawah rindangnya pohon yang kakek tanam puluhan tahun lalu, mungkin masih ada kehidupan yang tumbuh: akar yang mengikat tanah, dedaunan yang menurunkan suhu udara, dan buah-buah yang menghidupi lebih banyak makhluk.

2. Memahami Ritme Alam untuk Pertanian Berkelanjutan

Kakek punya cara bertani yang sangat bijak. Beliau selalu memulai dengan mengolah lahan terlebih dahulu. Membersihkan sisa-sisa tanaman, menggemburkan tanah, lalu memberi pupuk organik yang dibuat sendiri dari kotoran ternak. Semua dilakukan dengan tangan, tanpa tergesa-gesa.

Beliau juga tidak menanam sepanjang tahun. Ada masa yang disebut bero, saat tanah dibiarkan beristirahat. Kata kakek, tanah juga seperti manusia, butuh waktu untuk memulihkan tenaga. Kalau dipaksa terus-menerus, hasilnya justru akan menurun.

Dari sini saya belajar bahwa bertani bukan sekadar soal menanam dan panen, tapi juga soal memahami ritme alam. Ada saat bekerja, ada saat memberi jeda, supaya kehidupan di bawah permukaan tanah tetap terjaga.

Dan apa yang kakek terapkan itu persis sama dengan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan yang saya pelajari di bangku kuliah.

3. Doa dan Salawat di Setiap Penanaman

Setiap kali menanam, kakek selalu memulainya dengan doa dan membaca salawat. Beliau percaya, segala usaha akan lebih baik jika dimulai dengan mengingat Allah. Bagi kakek, menanam bukan hanya soal memberi makan tubuh, tapi juga menumbuhkan keberkahan.

Ibu sering bercerita, kakek akan berhenti sejenak sebelum bibit ditanam. Tangannya memegang batang kecil itu dengan hati-hati, seolah memegang sesuatu yang berharga. Setelah doa selesai, barulah bibit dimasukkan ke tanah, lalu ditutup perlahan.

Mungkin bagi orang lain, itu hanya ritual kecil. Tapi bagi kakek, itu adalah cara untuk menyerahkan hasil akhir kepada Yang Maha Menghidupkan. Dan bagi saya, itu pelajaran bahwa dalam setiap pekerjaan, sekecil apa pun, ada ruang untuk melibatkan hati dan keyakinan.

Penutup

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa pertanian berkelanjutan ala kakek bukan sekadar teknik atau metode tanam-menanam. Ini adalah cara hidup.

Sebuah keyakinan bahwa setiap tindakan kecil yang kita lakukan dengan hati dan niat baik akan membawa hasil yang jauh lebih besar dari yang bisa kita bayangkan.

Dengan menanam benih, kakek tidak hanya berharap panen yang melimpah, tetapi juga keberkahan yang terus-menerus mengalir, dari bumi hingga ke langit.

Kisah ini menjadi pengingat bagi saya, bahwa dalam setiap pekerjaan, selalu ada ruang untuk melibatkan hati, keyakinan, dan penyerahan diri kepada Sang Kuasa.

Semoga cerita ini menginspirasi kita semua untuk tidak hanya menanam tanaman, tetapi juga menanam kebaikan dan keberkahan di setiap langkah.

Artikel ini cocok untuk teman atau saudaramu? Yuk, bagikan!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *